Minggu, 30 Oktober 2016

Pengasuhan, ada target ada finish

Copas dari grup Parenting with Elly Risman

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti ‘developmental milestone’ yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikutnya lagi.

Kini ibu saya merumuskan prakteknya menjadi teori, bahwa pengasuhan juga harus memiliki tujuan. Ada goals-goals yang harus di raih, di pecah secara kertil dengan tata laksana yang jelas. Tujuan pengasuhan pertama anak laki-laki dan perempuan adalah menjadi hamba allah yang shaleh/shalehah. Dari poin itu, dipecah lagi, apa saja yang harus diajarkan agar tujuan itu tercapai? Ilmu tauhid? Hadist? Tafsir? Bahasa arab? Hafalan quran? Apa lagi? Siapa yang akan mengajarkannya? Apakah ibu dan bapak bisa? Kalau bisa, bagi tugas. Kalau tidak bisa, agar bisa, belajar dimana orgtuanya? Kalau anaknya sudah kadung cukup usia, maka cari guru dari mana agar bisa di bawa ke rumah agar bisa pintar bersama-sama, ga cuma anaknya saja? Poin ini harus kuat, kokoh dan stabil, karena ia akan menjadi fondasi dari poin-poin selanjutnya

Tujuan pengasuhan kedua apa? Agar anak menjadi suami/istri yang baik. Bukan pekerja dan karyawan saja yang selama ini biasanya dipersiapkan oleh para orang tua. Hasilnya, gaji anaknya bagus, tapi keadaan rumah tangga carut marut karena tidak pernah di latih jadi suami dan istri. Apa saja yang harus di latih untuk menjadi suami dan istri yang baik? Itu di buat listnya lagi. komunikasi? Ketrampilan rumah tangga (seperti mencuci, memasak, dll)? Ilmu pengaturan keuangan? Pertukangan? Ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor? Memijit? Potong rambut? Menjahit? Buat daftar anda sendiri dan di tentukan lagi belajar pada siapa dan berapa lama masing-masing item harus di pelajari.

Setelah menjadi suami dan istri, logikanya akan menjadi ayah dan ibu. Menjadi ayah dan ibu saja mah gampang. Menjadi ayah ibu yang baik, benar dan menyenangkan itu yang setengah mati. Selama ini, saking gak taunya, kita berpikir memberi makan dan memberi tempat tinggal untuk anak-anak saja sudah cukup. Padahal kalau sesederhana itu, monyet pun bisa. Tugas ayah bukan hanya mencari nafkah. Quran (2:233) jelas-jelas menyebutkan makanan dan pakaian, jadi bukan hanya uang, karena uang tidak bisa di makan. Dan ibu pekerjaannya bukan hanya mengurusi rumah tangga saja. Anak tidak bisa hanya di kasih makan, sekolahin, trus udah. Ga bisa. Jadi di bikin, poin apa saja yang harus dilatih agar menjadi ayah ibu yang baik? Ketrampilan menjaga dan mengurus anak? Ketrampilan bercerita? Apalagi? Bikin lagi daftarnya, pecah lagi per item.

Poin ke 4 baru menjadi professional yang baik. Yang bisa bersaing di dunia kerja, mendapatkan penghasilan yang memadai, dst. Biasanya, orangtua kita zaman dulu cuma memastikan bahwa ini terkembang dengan baik, jadinya pada cuma jago jadi karyawan saja, giliran jadi ayah, di alihkan ke gadget. Pegang anak sebentar, sabarnya ilang. Ketrampilan untuk telatennya, tidak pernah terlatihkan. Padahal ini juga biasanya di delegasikan ke sekolah, jadi biasanya orangtua gak ngapa2in, secara poin nomer satu di lempar ke TPA, dan poin ini di lempar ke sekolah. Sisanya apa? Cuma kasih makan saja? Enak bener.

Tujuan pengasuhan yang lain masih banyak,..tapi saya Cuma cowel segitu dulu. Sgitu aja seabrek yang harus dilakukan.
Jadi kalau dalam prakteknya misalnya, untuk poin pertama, bagi tugas: ayah bertanggung jawab untuk membahas hadist dan tafsir. Kalau ayah tidak mumpuni, panggil guru ke rumah, jadi ayah belajar juga. Ibu misalnya kena bagian quran, hafalannya, dan ilmu tauhid. Tidak mampu? Mau mengirimkan anak ke guru yang lebih mafhum? Tak apa. tapi jangan lupa ibu juga ikut belajar, tidak Cuma melempar anak keluar dan berharap pulang terima jadi. Enak bener.

Untuk poin kedua, setelah terampil mengurus diri sendiri yang seharusnya sudah di kuasai di usia pra sekolah (mandi, makan, merapihkan, berpakaian dan ke kamar kecil sndiri, dll), anak SD sudah bisa dan boleh diberikan tanggung jawab yang melibatkan seluruh keluarga. Misalnya anak sulung saya bertugas mencuci pakaian sekeluarga dengan mesin cuci sebelum pergi sekolah. Tugas bisa berbentuk apa saja, mencuci piring, menyiram tanaman, menyapu rumah, ngepel lantai, apa saja yang di luar diri dan barangnya. Sepakati bersama. Apakah merapihkan mainan dan tempat tidurnya termasuk poin ini? Tidak. Karena itu ketrampilan diri, tidak berhubungan dengan orang lain. Tempat tidurnya ya tempat tidurnya. Kalau dia merapihkan semuaaaa tempat tidur dirumah, baru masuk ke poin ini. Saya memasukkan memasak ke dalam poin ini juga. Karena anak saya laki-laki dan menyediakan makanan adalah tugasnya kelak, maka mereka harus bisa masak juga. Lagipula bukankah koki-koki terkenal dunia umumnya laki-laki semua? Poin memasak di bagi 3 (kalau saya), dirotasi per tahun boleh, per 6 bulan boleh. Jadi misalnya kls 1: masak nasi, tempe dan pudding. Nanti kelas 2 beda lagi. Usahakan full meal, jadi 1 menu karbohidrat, 1 menu protein/lauk dan 1 menu pencuci mulut. Jadi misalnya nasi goreng, tomyam dan pisang goreng. Atau fetucini, telur dadar dan jus papaya. Mulai dari apa yang anak suka dulu saja. Kenapa di rotasi per 6 bulan? Karena harus bisa dengan lancar, tidak perlu ikut kejuaraan masterchef, tujuannya bisa bukan mahir. Tapi kalau Cuma latihan sekali.. mana mungkin?

Terus bagaimana melatih anak kecil menjadi ayah yang baik? Dia harus bisa mengajak main adiknya, memandikannya, memakaikan pakaian, menyuapi, dll, anak sulung saya Alhamdulillah di karuniai 2 adik dengan usia yang berbeda, jadi dia bisa dilatih untuk mengasuh 2 anak yang berbeda karena ketrampilan mengeramasi anak usia 4 tahun dan menyuapi anak usia 6 bulan membutuhkan trik yang khusus pula.

Hidup, harus punya tujuan, apalagi mengasuh, karena mengasuh itu ‘membentuk masa depan orang melalui tangan kita’, gak bisa ‘asal lewat’ saja. Ga bisa asal makan, asal sekolah, asal…gede. Ga bisa.

Bikin rumah saja, harus punya blue print. Jelas dimana pintu, jendela, jelas berapa luasnya, bentuknya gimana, dimana letak taman dan kamar kecil, sebelum rumah itu jadi, orang sudah bisa membayangkan dimana ruang tamu dan ada berapa kamar, serta garasi muat berapa mobil. Main bola juga jelas, jelas gawangnya, goalie nya siapa, bek tengah nya siapa, bek sayap, penyerang, gelandang, semua tau tugasnya masing-masing, bekerja sama untuk satu tujuan. Ketika terluka dan tidak bisa melakukan tugasnya, di gantikan dengan pemain lain. Bayangkan kalau main bola, tidak ada gol? Muteeeeeerrrr aja itu bola, dari satu pemain ke pemain lain. Ga masuk akal kan? Itu MAIN bola. Pengasuhan bukan main-main, dan tidak bisa diserahkan semua ke ibu saja. Apakah dengan begini, di jamin anak kelak akan menjadi hamba yang shalih, suami/istri yang baik, orgtua yang hebat, pekerja yang kaya? Tidak ada jaminan apa-apa di dunia ini. Seperti main bola, setelah usaha maksimal, kita tidak pernah tahu apakah akan menang atau kalah. Urusan hasil, urusan entar. Kita hanya bisa berusaha, maksimal. Bekerjasama saja belum tentu menang.. apalagi kalau di kerjakan sendirian. Punya gol saja belum tentu masuk, apalagi kalau tidak punya tujuan.

#sarrarisman
**jika dirasa manfaat, tidak perlu izin untuk membagikan tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar