Senin, 19 Desember 2016

Perasaan yang terabaikan

Perasaan yang terabaikan

“Diaaam !.. diam mama bilang! Cengeng banget sih gak berenti berenti nangis dari tadi.. Kalau mama sudah gak sabar nanti mama pukul kamu! “
“Tau kenapa mama gak suka sama kamu?, kalau nagis lama,  dibilangin gak denger, gak kayak adikmu!, faham,,?” Ujar  bu Tini pada anaknya yang sulung berusia 5.5 tahun sambil mendorong kepala anaknya…
Terkesan familiar ?
Bukan hanya bu Tini tapi banyak ibu ibu lain sering sekali merasa tak mampu mengendalikan emosinya menghadapi anak anaknya, tanpa tahu mengapa mereka merasakan seperti itu. Umumnya bila sudah marah panjang lebar bahkan melengkapinya dengan nolak kepala seperti yang dilakukan bu Tini, ada juga dengan mencubit bahkan memukul, mereka  umumnya menyesal bahkan gak jarang menangis dikamar tidur nya.  Apalagi kalau sudah malam, semua sudah tenang dan dia mengamati atau memandangi  anaknya yang pulas tertidur dan nampak benar keluguan dan kepolosannya..
“Ya Allah kenapa aku marahi dan pukuli anakku ya Allaaah”, keluhnya sambil menciumi anaknya sementara air mata terus berurai.  Penyesalan tak pernah datang diawal….

Beginilah jadinya bila tak ada persiapan.
Umumnya, jarang sekali  ayah dan ibu memiliki kesiapan atau dipersiapkan oleh orang tuanya  untuk menjadi orang tua.  Kalau dulu, ketika beban pelajaran belum seberat sekarang dan jam belajar belum lagi diatas 8 jam sehari, anak anak masih punya kesempatan untuk bersama dengan  anggota keluarga dirumah. Sehingga kalau tidak terlibat dalam membantu kakak atu tantenya yang punya anak kecil, anak anak masih  dimintai tolong untuk membantu mengasuh atau menolong adiknya.
Tapi situasi kini jauh berubah. Anak anak sekolah pada usia yang lebih dini, mata pelajaran yang padat, jam belajar yg panjang dan tugas sejibun. Pulang, lelah jiwa raga. Main games, nonton TV, kerjakan tugas lalu tidur. Jarang ada kesempatan  untuk dialog dan bercengkrama dalam keluarga. Apalagi kalau kedua orang tua bekerja pula dan pulang selalu lebih telat dari waktu anak tiba dirumah. Bayangkan !

Tiba tiba tak terasa anak sudah lulus sekolah menengah, mahasiswa atau sudah jadi sarjana dan waktu menikahpun tiba. Dari mana ada persiapan menjadi suami istri, apalagi ibu dan ayah?. Tahu tahu punya anak saja. Karena kurang pengetahuan, sengaja atau kesundulan: ada dua balita dalam keluarga . Huih!
Apa yang paling hilang dari  pengasuhan seperti yang diuraikan diatas adalah kesempatan untuk mendengarkan perasaan anak. Andainya saja orang tua tahu, bagaimana pentingnya perasaan itu perlu didengarkan, mereka akan berjuang untuk punya waktu dan berdialog dan membicarakan soal “rasa “ dengan anaknya .

Bisakah anda bayangkan, apa jadinya dengan anak bu Tini diatas yang sejak usia balita ibunya suka berteriak, marah, memerintah (Diam!), mencap (Cengeng banget), mengancam (mama pukul nanti), menyalahkan ( Gak suka sama kamu, gak denger), membandingkan ( gak kayak adikmu)??..
Apakah cara pengasuhan seperti ini, memungkinkan  bagi orang tuanya untuk menunjukkan perhatian dan memperdulikan perasaan anak nya?. Kemana anak ini akan membawa atau mengadukan derita rasa atau jiwanya  kalau orang tuanya terus menerus menggunakan cara pengasuhan serupa ?
Itukan baru sekali!, biasanya berapa kali dalam sehari? dan sudah berapa lama ..? Itu anak siapa ya?

Jadi bagaimana ya kalau nanti dia jadi ibu atau ayah pula?.Bila  orang tuanya terbiasa kalau marah seperti itu, tidakkah anak ini akan mengulang semua apa yang dia terima ini dengan OTOMATIS  terhadap anaknya pula nanti ?.
Berkata seorang ahli : “Hati hati mengasuh anakmu. Perbaiki pola pengasuhanmu sebelum anakmu baligh. Karena engkau sedang salah mengasuh cucumu!”.

Bagaimana mungkin ?

Bagaimana mungkin merubah cara mengasuh, kalau kita :
1.Tidak menyadari bahwa pola asuh yang kita  lakukan adalah pengulangan otomatis dari apa yang diterima dulu  dan belum mampu memutus mata rantainya .
2.Tidak mengenali pola asuh yang bagaimana yang terjadi dengan pasangan kita, mengapa dia suka bersikap dan memiliki cara pengasuhan bahkan cara berfikir yang berbeda dengan kita?. Mengenali  dan menyesuaikan diri dengan semua perbedaan itu tidaklah mudah, biasanya memerlukan waktu 5- 10 tahun. Tergantung bisa didialogkan  dan mau mencari pertolongan ahli atau tidak, bisa  dicari titik temu atau tidak. Sementara anak nambah terus…Marah sama pasangan- anak yang jadi korban iya  kan ?
3.Apalagi kalau pernikahan itu sudah bermasalah dari awal, tidak disetujui kedua belah pihak, atau hanya sebelah saja, ada kesalahan dilakukan sebelum perkawinan yang menimbukan  penolakan dari salah satu keluarga atau anggotanya.
4.Tidak mengerti sama sekali tahapan perkembangan  dan tugas perkembangan anak : Usia sekian anak harusnya sudah mampu melakukan apa dan bagaimana merangsangnya.
5.Tidak faham bahwa  bahwa otak anak  ketika lahir belum bersambungan dengan sempurna, sehingga kemampuannya terbatas, dan banyak hal mereka belum mengerti. Begitu sambungan mencapai trilliunan pada usia 2.5 tahun, anak mulai  belajar menunjukkan dirinya. Tapi ketidak fahaman membuat orang tua mematahkan semangat anak dan tidak memberinya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dengan sering menjadi :ayah atau mama “sini” : Sini mama bantuin, Sini ayah tolongin…
6.Begitu anak sudah 4 tahun bisa berpura dan berkhayal dikomentari : Bohong, mengada ada dll. Atau bila mereka memberikan pendapatnya orangtua mengatakan “dia sudah bisa membantah dan tidak patuh lagi “. Hoalllah…kasiannya tuh anak!
7.Orang tua tidak tahu bahwa :
Pusat perasaan diotak, berkembang lebih dulu dari pusat kognitifnya. Karena terburu buru ingin anak jadi pintar dan masuk sekolah, usia dini sudah dileskan Calistung, usia 6 tahun masuk SD. Kadang kadang ini dilakukan karena dirumah sudah ada 2-3 adiknya !.
8.BKKBN  dan Kelompok Neurosaince Terapan pernah menyarankan agar dihindari sedapat mungkin untuk ada dua balita dalam keluarga, karena sangat mengkonsumsi  jiwa, pikiran dan tenaga ibu. Apalagi kalau kedua oang tua bekerja  dan anak di “subkontrakkan” kepada orang lain. Bayangkan apa jadinya dengan anak itu? .
Jika  anak saja tidak mendapatkan  kesempatan untuk  didengarkan perasaannya apalagilah ibunya?

Mengapa fungsi berfikir ibu  jadi terganggu?

Bagaimana tidak, kalau ibu mengalami semua 8 masalah diatas?.
Seorang ahli mengatakan bahwa bila seseorang sedang secara fisik sangat lelah, maka emosi mudah naik, sehingga bagian berfikir diotaknya menjadi sempit dan fungsi berfikir terganggu. Kelakuan  didominasi oleh emosi. Kesadaran dan penyesalan  akan muncul belakangan setelah emosi reda, letih berkurang .

Katherine Ellison, dalam bukunya The Mommy Brain menceritakan hasil risetnya bertahun tahun, bahwa ibu yang  baru melahirkan itu normal bila dua bulan pertama mengalami apa yang disebutnya : “Amnesia keibuan, atau pikun kehamilan”. Hal ini terjadi oleh karena kekacauan kimiawi saat hamil dan melahirkan ditambah dengan rasa sakit, kekurangan tidur dan keharusan  untuk belajar banyak hal sekaligus tentang mengurus, bayi, diri sendiri dan tetap memperhatikan lingkungan. Bila anda lengah sekejap saja, bia menimbulkan  akibat yang sanga mengerikan . Allison mengemukakan juga bahwa di Inggris keadaan ini disebut sebagai : Otak Bubur, di Australia  : “Otak Plasenta” dan “Otak mami” di Jepang . Bayangkanlah kalau di bulan ketiga ibu ini sudah hamil lagi…

Jadi untuk membantu bagaimana agar  ibu “Tidak emosian” dalam mengasuh anak anaknya, semua orang disekitarnya, terutama para ayah dan orang tua hendaknya mengerti akan 8 hal yang  umumnya dihadapi oleh seorang ibu berikut “amnesia atau pikun keibuan” diatas dan jangan abaikan perasaannya .
Diatas segalanya, ibu itu sendiri  harus mampu mengenali dirinya dan berupaya memahami sepenuhnya serta berdamai dengan masa lalunya dengan memaafkan semua yang terjadi.Selain itu ia harus berusaha mengerti apa yang terjadi dengan pasangannya dan orang disekitarnya.Jangan karena tak mau berdamai dengan sejarah hidup, kesal dengan orang sekitar :suami dan anggota keluarga, anak yang dijadikan korban.
Anak tertekan, tak dimengerti dan tak didengarkan perasaannya adalah bencana di hari tua dan akhirat anda..

Dari risetnya tentang otak para ibu, Allison menunjukkan bahwa dengan menjadi ibu anda menjadi lebih pintar dan cerdas dari apa yang kita fikirkan!.Ada lima sifat otak yang dirangsang oleh bayi anda: Persepsi, Efisiensi,Daya tahan,Motivasi,dan Kecerdasan emosi..
Jadi apalagi dear ? : manfaatkan Mommy Brain anda.
Selamat berjuang untuk menyelesaikan urusan dengan diri sendiri  sebelum anda menyelesaikan urusan anak dan keluarga anda. Putuskan mata rantai itu.
Mulailah dengan belajar mendengarkan  dan menerima perasaan anak anda…
Selamat Berbahagia ..
Luv u all

Bekasi 18 Desember 2015
Elly Risman

#ParentingEraDigital

Silahkan dishare bila dirasa bermanfaat.

Rabu, 23 November 2016

Komunikasi Suami - Istri

Komunikasi suami istri.

Umum sekali terjadi, tak lama setelah perkawinan suami istri baru ini sudah   mulai menemukan bahwa komunikasi  antar mereka berdua, jadi tidak selancar, sehangat apalagi seindah ketika dulu pacaran atau sebelum menikah.
Sekarang, ada saja yang gak nyambung, emosi naik, kadang diam, tak biasa dimengerti dan seolah tak ada keinginan untuk mengerti. Dulu, kalau begini salah satu pasti tidak akan pernah berhenti membujuk, sampai salah satunya mengalah dan komunikasi tersambung kembali.

Kenapa sudah kawin malah jadi sebaliknya?
Harapan dan mimpi indah yang dulu dibagi bersama dan menimbulkan semangat, kini seolah menguap begitu saja . Kenyataan yang ada sangat mencengangkan karena banyak hal yang dulu tidak diketahui kini menjadi jelas merupakan kebiasaan yang kurang pas dan kurang menyenangkan bagi pasangannya. Mulai dari  kalau ngomong kurang diperhatiin, mau menang sendiri,kebiasaan yang tidak sama : naruh handuk basah diatas tempat tidur, suami merasa  kurang dilayani, istri merasa kurang didengarkan perasaannya dan sejuta perbedaan lainnya yang terus menerus terjadi dari hari ke hari….

Mengapa semua ini terjadi ?

1.Hidup lebih realistis, kebiasaan dan sikap  asli masing masing     nampak  dan tak perlu dipoles dan disembunyikan lagi.  Cara ekspresi emosi juga otomatis nampak : marah, menghakimi, selfish, narcist, mencap, dll.

2. Dari pengalaman saya menghadapi berbagai kasus keluarga dan perceraian, ketika pasangan ini  belum menikah, mereka tidak mengetahui atau diberi tahu bahwa masing masing harus mempelajari latar belakang pengasuhan pasangannya dan  mengapa perlu tahu.. Yang paling buruk adalah kenyataan bahwa masing masing pasangan  tersebut bahkan tidak cukup kenal dengan dirinya sendiri!.

3.Tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menciptakan laki laki dan perempuan itu berbeda : Otaknya, hormon2nya, alat kelamin, ratio otot daging, kapasitas paru paru dlsbnya

4.Tidak memiliki ketrampilan bicara yang benar, baik dan menyenangkan  serta

5.Kurang memiliki ketrampilan mendengar, sehingga

6.Tak mampu berkomunikasi yang baik, bersih dan jelas. 

         Apa akibatnya?

Masing masing seperti terperangkap dalam diri sendiri. Bagaimana  jalan keluarnya?. Mana bisa kita ceritakan sama ortu?  Sudahlah beliau capek mendidik kita, menyekolahkan, mengawinkan.. masak  masalah kita, kita bawa juga ke mereka. Kawin di jodohkan saja tidak mudah kita adukan apalagi ini pilihan kita sendiri. Tangan mencincang bahu memikullah. Kalau diceritakan ke orang lain, aib hukumnya. Menceritakan kekurangan atau kejelekan  pasangan, bisa bisa gak dapat mencium wanginya syurga!.

Jadi terasa seperti api dalam sekam,  panas terus tapi jangankan ada pintu atau jalan keluar , asap saja tak bisa  dihembuskan . Ini yang membuat kadang kadang semangat redup karena hati luka – merasa terkunci di hati sendiri , sulit ditemukan apalagi  diberi pertolongan!

Harapan timbul tenggelam, ah.. siapa tahu nanti membaik. Siapa tahu  kalau anak sudah lahir, siapa tahu kalau ada adiknya pula.. siapa tahu…..

        Apa yang terjadi  selanjutnya ?

Kebutuhan semakin  beda, marah mencuat, bersitegang – bertengkar, saling: merendahkan, menyalahkan, menjelek-jelekan & menjatuhkan saling menuduh,  menghakimi, mencap,  bahkan sampai menyebut nyebut orang tua. Akhirnya saling diam diam-an, bicara seperlunya saja semuanya membuat semakin sunyi di hati.
Sudah jelas dalam keadaan seperti ini  sulit bagi masig masing pasangan untuk  menunjukkan pengertian, pengakuan apalagi pujian!.
Satu tempat tidur  tapi seperti  beda planet ! Berpapasan dipintu  berusaha jangan senggolan, beradu kaki ditarik buru2. Kamar sering sekali sunyi, masing masing dengan aktifitas sendiri sendiri. Tapi hati semakin luka, semakin perih.

Kalau ada tamu : standard ganda. Saling menyebut  dan menyapa, seolah tidak terjadi apa apa : “iya begitu kan ya ma/pa?” hahahaha. Begitu tamu pulang , sunyi dan senyap kembali…
Kebutuhan untuk diterima dan didengarkan tetap ada pada masing masing, sebagai kebutuhan dasar agar tetap jadi manusia, mulailah  terjadi perselingkuhan atau punya teman curhat  yang biasanya berujung   maksiat atau kawin lagi. Yang popular sekarang adalah BINOR (Bini Orang) atau LAKOR ( Laki Orang) , yaitu selingkuh dengan teman sekerja, sekantor atau lain kantor atau teman SMP dan SMA dulu. Semua dijaga ;Tahu sama Tahu. Kalau hamil kan punya suami!. Yang paling buruk adalah selingkuh sejenis, seperti yang sering dibicarakan akhir akhir ini .. Yang jelas kebutuhan jiwa dapat , material apalagi!

Bayangkan bagaimana bermasalah anak anak yang tumbuh dalam keluarga seperti ini ? sudahlah mungkin rezeki tidak halal dan thayyib ortunya berbuat maksiat pula.
Banyak sekali orang tidak tahu, memang belum ada penelitiannya, bahwa bila seorang ayah atau ibu melakukan maksiat, pasangannya bisa dikelabuinya tapi tidak Allah dan anaknya!. Pengalaman saya menunjukkan bahwa anak yang tadi manis patuh dan berkelakuan baik, bisa tiba tiba gelisah, temper tantrum, tak bisa mengendalikan diri, marah, ngamuk dlsbnya.. bila secara diam diam salah satu ortunya berzina!.  Bayangkan, berapa banyak sekarang pasangan melakukan hal itu dan hubungkan dengan keresahan jiwa dan kenakalan remaja.
Dalam iklim psikologis dirumah  yang buruk sekali itulah  anak tumbuh dan berkembang. Bayangkanlah dampak  bagi perkembangan kejiwaan, emosi, kecerdasan,  social dan spititualnya!

        Jadi, bagimana sebaiknya ?

Pertama harus disadari benar bahwa  komunikasi pasangan ini sangat penting  karena  ia mencerminkan Iklim rumah: fondasi keluarga, kesehatan pribadi, kesehatan anggota keluarga, cerminan: kekuatan, kelemahan & kesulitan perkawinan dan Kelanjutan  serta kepuasan hidup!.
Intinya, kalau suami usia masih  muda sudah sakit sakitan jangan jangan ada masalah besar dengan istrinya. Sebaliknya, bila istri masih muda sakit sakitan, jangan jangan suaminya bermasalah!. 

Untuk itu, kenalilah masa lalu masing masing pasangan. Apa  dan pengasuhan yang bagaimana yang membuatnya seperti sekarang ini yang kita uraikan diatas. Perjodohan adalah sebagian dari iman, karena tidak akan berjodoh anda dengan pasangan anda kecuali dengan izin Allah. Jangan mudah menceraikan atau minta cerai, karena itu adalah pekerjaan halal  yang dibenci Allah. Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kokoh : “Mitsaqan Galidha”. Allah lebih tahu, dari yang anda rasa dan fikir kurang atau  buruk, disitu banyak kelebihan dan kebaikan menurut Allah.

Tapi karena kita kurang waspada dan menyadari  bahwa syaithan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan perkawinan, seperti yang dilakukannya terhadap nabi Adam dan ibu Hawa, maka kita akan terkurung dalam penilaian dan pemikiran yang buruk saja tentang pasangan kita.
Jadi, berusahalah untuk meningkatkan keimanan, mintalah pertolongan Allah agar dibukakan mata hati kita untuk :Bersyukur, menerima ketentuan Allah, bersangka  baik,  melihat kelebihan lebih banyak dari kekurangan, menemukan ‘Inner child” pasangan dan berusaha memaklumi dan perlahan merubahnya.
Kesulitan utama yang banyak dihadapi orang adalah karena dia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia sendiri memiliki ‘inner child” yang parah dan terperangkap disitu. Dia sendiri melimpah, sehingga bagaimana mungkin menolong pasangannya . Dalam situasi seperti ini pasangan ini memerlukan  pertolongan ahli, bahkan mungkin butuh terapi. Bila hal ini tidak segera dilakukan, penderitaan keduanya  bisa berkepanjangan karena yang jadi korban adalah harapan satu satunya dimasa depan yaitu : anak anak mereka ! .

Selanjutnya adalah menyadari bahwa Allah menciptakan otak kita ini berbeda. Jadi pelajarilah akibat perbedaan ini lewat syeikh Google atau mbah Wiki, dan apa dampanya pada salah pengertian dan salah harapan antara suami dan istri.

Langkah berikutnya untuk memperbaiki komunikasi adalah belajar menjadi “Pendengar” yang baik. Memang tidak mudah, karena kita dari kecil diajarkan untuk  bicara dan bicara: lewat lomba pidato, story telling, debat dlsbnya. Tapi tidak ada lomba mendengar!.

       Mendengar yang baik ada kiatnya :

1.Hindari  penghalang mendengar, yaitu : Lebih mudah membuat jarak dengan pasangan, malas komunikasi, kalau ngomong bukannya dengar tapi memikirkan jawaban, menyaring tanda-tanda bahaya dalam percakapan, mengumpulkan data-data untuk       mengutarakan pendapat dan memberikan penilaian  terhadap apa yang di kemukakan oleh pasangan.

2.Berusahalah mendengar yang benar dengan :
Bukan hanya diam di depan pasangan yang sedang bicara tapi cari tahu (tanpa “baca pikiran”) apa yang dimaksudkan, dikatakan dan dilakukan pasangan . Tunjukkan  kita mengerti pasangan, sehingga hubungan terasa jadi lebih dekat, bisa menikmati kebersamaan, menciptakan dan melanggengkan keintiman.

3.Mendengar yang benar membutuhkan COMMITMENT & COMPLIMENT. 

Commitment/ kesepakatan dengan diri kita sendiri  artinya  dalam mendengar kita berusaha untuk: Mengerti, Memahami, Menyisihkan minat dan kebutuhan pribadi , Menjauhkan prasangka dan berusaha  untuk Belajar melihat dari sudut pandangan pasangan
Sedangkan Compliment /hadiah adalah  menunjukkan pada pasangan bahwa “Saya peduli kamu, sanggup anda, Saya ingin tahu apa yang kau pikir atau  apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu butuhkan”.

Semua ini memang tidak gampang tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Cobalah sedikit sedikit asal  jangan anda  menyerah dan kembali ke pola komuniasi  yang semula.

Mungkin yang  penting sekali  untuk anda ingat :

Kalau ada kerikil dalam sepatu, terasa menganggu dipakai berjalan, buka sepatunya  buang kerikilnya, bukan sepatunya yang anda ganti. Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk anda!.

Yakin bahwa anda bisa. Pasti bisa!!

Bekasi, 19  September 2016.

#Elly Risman.

Bila  anda rasa tulisan ini bermanfaat, tak perlu minta izin silahkan share sebanyak yang anda bisa. Semoga ada manfaatnya .

Senin, 21 November 2016

Bad words

Copas dari grup Parenting Bersama Elly Risman n fam :

Memahami mengapa anak menggunakan “Bad words” &  bagaimana mengatasinya .

“Tuing!...” denting hape saya menandakan ada pesan masuk.
Saya kerling : nama Firdaus muncul di layar. Firdaus adalah Kepala Divisi Anak dan Remaja (DIAR) di YKBH. Sebagai pimpinan Divisi Firdaus mempunyai kewajiban untuk melaporkan bukan saja rencana kegiatan DIAR pekan atau bulan ini tapi juga dengan cepat memberitahu saya tentang berbagai temuan lapangan, terutama yang  genting genting. Biasanya, laporan temuan lapangan ini perlu segera ditidak lanjuti.

DIAR adalah bagian dari YKBH yang sangat saya syukuri dan banggakan kehadiran dan kerja kerasnya. Sejak berdirinya 14 tahun yang lalu,membuat YKBH memiliki data mingguan tentang perkembangan pengetahuan dan kelakuan anak anak sehubungan dengan perilaku pubertas mereka dan juga hal hal yang berkaitan dengan pornografi. Luar biasa perannya dalam advokasi yang kami lakukan  untuk  membangun awareness tentang  kerusakan otak akibat pornografi  baik kelembaga Legislatif termasuk ketika  berjuang mengesahkan UU Pornografi  dan mempertahankannya di Mahkamah Konstitusi, di Kementrian dan Lembaga, sekolah, masyarakat luas, juga   ketika memperkenalkan apa yang sudah kita kerjakan sebagai bangsa dalam sidang PBB di Wina  serta saat YKBH  menerima penghargaan di Amerika.

Jadi beberapa hari yang lalu, pesan yang dikirim Firdaus adalah tentang keluhan berbagai fihak, kepala sekolah, orang tua, pimpinan lembaga tentang semakin meningkatnya penggunaan “bad words” dikalangan anak anak. Bila dulu kata kata seperti ini diucakan dengan mudah oleh anak anak SMA atau SMP, beberapa tahun yang lalu oleh anak SD kelas tinggi, kini jadi bahasa harian anak  SD kelas rendah : murid kelas 2-3! .  

Masalah utamanya adalah fenomena ini bukan hanya terjadi di sekolah di wilayah JABODETABEK  saja,  tetapi juga di berbagai kota yang belakangan ini dikunjungi oleh tim DIAR  karena kerjasama kami dengan Telkomsel untuk mensosialisasikan program Internet Baik . Saat tulisan ini saya buat, Tim kami baru take of menuju Manokwari.

Kapan Bad Words digunakan?

Umumnya ketika anak kesal dengan temannya. Tetapi karena sebagian anak merasa mampu mengeluarkan dan menggunakan kata ini kesannya “Keren”, maka  mereka mengucapkannya dalam berbagai situasi, keluar otomatis, begitu saja.

Apa saja Bad words yang paling populer ?

Saya minta maaf untuk menuliskan ini, tetapi agar ayah bunda tidak merasa aman dan menganggap anaknya tidak tahu  kemudian agar ayah bunda mulai  mewaspadai anak anaknya. Kata kata yang paling digunakan anak untuk mengekspresikan perasaannya adal “WTF”( What The Fu**k), fu**k, Anj**ng.mony**t, ba*i,. dll
Istilah vulgar yg sangat enteng keluar begitu saja dari mulut mereka adalah : nge***t, kon***, dan berbagai cara orang menyebutkan organ kelamin manusia. Hadeuh !!!

Dari mana sumbernya? .

Menarik sekali pengamatan dan pemantauan yang dilakukan oleh guru dari berbagai sekolah yang sudah biasa bekerjasama dengan DIAR. Mereka sudah mulai membangun cara komunikasi yang nyaman dengan murid muridnya untuk mengetahui perasaan mereka dan bekerjasama untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut guru ini anak anak ini mendapatkan semua bad words tersebut selain dari teman adalah dari  beberapa jenis komik tertentu dan umumnya dari vlog youtubers dan social media.
Entah bagaimanalah kontrol penggunaan gadget  dirumah, sehingga anak anak belia ini  telah menjadi followers dari beberapa youtubers dan tokoh sosmed yang biasa bicara kasar dan menunjukkan bahwa mampu melakukan hal seperti itu jadi :”keren”. Kami telah mengantongi beberapa nama ‘tokoh – tokoh’ tersebut dari pernyataan anak dan laporan guru.

Jadi bagaimana ?

Izinkan saya mengusulkan beberapa langkah  yang  saya harapkan bisa digunakan baik  oleh orang tua maupun guru.

1. Kita harus menyelesaikan dengan bijak dan baik kebiasaan buruk yang mulai merasuki anak kita, karena pertanggungan jawab kita pada Allah untuk menghasilkan anak yang berbudi dan beradab.

2. Mulailah dengan tidak  berburuk sangka, bahwa anak kita telah
melakukannya walaupun mungkin sudah .

3. Tolong sadari dulu, bahwa belum tentu anak mengerti apa yang diucapkannya . Mereka melakukannya umumnya karena meniru dan supaya tidak berbeda dengan temannya .

4. Kita harus berusaha menciptakan suatu situasi yang kelihatannya tidak sengaja untuk membicarakan ini dengan anak, padahal sudah disiapkan dengan rinci.

5. Gunakalah bahasa yang mudah dimengerti, termasuk untuk menjelaskan istilah dan  gunakan kalimat yang pendek pendek serta banyak kalimat bertanya .

6. Siapan peralatan berupa dua buah gelas, container  yang bening atau baskom kecil, air putih dua botol  atau di teko kurang lebih 1000 ml, dan cairan kopi agak kental setengah gelas.

7. Berlatih  untuk menyampaikannya sehingga kelihatannya tidak serius sekali, tapi santai bak mendongeng.

8. Bercakaplah dengan nada yang rendah dan rileks, tapi fokus. Matikan hape dan minta bila ada, saudaranya di tangani dulu oleh orang lain – jadi tidak ada gangguan.

Hal hal yang harus kita ketahui lebih dahulu .

1. Kita harus pandai menyidik, kata kata buruk apa saja yang pernah didengar anak.

2. Harus dibedakan antara anak laki laki dan perempuan

3. Dari mana mereka mendengar atau mengetahuinya?

4. Siapa saja diantara teman temannya  yang sudah sering mengucapkan kata kata seperti itu?, sejak kapan?

5. Karena teman temannya sudah biasa menggunakannya, apakah anak juga pernah membalas? apa yang diucapkannya?. Kapan?

6. Sudah berapa kali sejak pertama mengucapkannya?

7. Kata kata apa saja yang sering digunakan anak ?

8. Bahas satu satu apakah anak mengerti atau tidak apa yang dikatakannya. Gunakan kalimat sederhana dan setelah dijelaskan  tanyakan  apakah pantas kata itu kita gunakan .
Misalnya akata Mo***t, Ba*i…itukan binatang
Fu**ck = orang melakukan hubungan suami istri. Pantas tidak kita ucapkan?
Melanggar ketentuan Allah tidak ? Jadi hukumnya apa ?

9. Perlu sekali menggunakan banyak kalimat bertanya, karena untuk mejawab anak harus berfikir dan harus menengok kedalam dirinya sehingga inilah yang penting : menimbulkan kesadaran diri.

10. Cari  tahu dititik mana anak tidak bisa mengontrol dirinya sehingga dia terpaksa mengatakannya .Ini kita sebut sebagai: “Ketrampilan yang hilang”.

11. Bagaimanakah perasaan anak ketika dia mengucpkan kata kata itu?.
Anda bisa menambahkan beberapa hal lain yang ingin anda ketahui.

Apa selanjutnya ?

Pengumpulan informasi diatas  bisa saja dilakukan oleh ibu. Tetapi sebaiknya untuk membahasnya dilakukan oleh kedua orang tua. Kehadiran ayah dalam hal ini amat sangat penting karena ayah selain penentu kebiakan dan aturan dalam keluarga, ayah bisa bicara tegas dan meyakinkan dengan menggunakan kalimat yang lebih pendek, terencana sehingga lebih mudah difahami anak.

1. Mulailah dengan menyampaikan kondisi keluarga kita. Kita keluarga baik baik dan harus bicara baik baik seperti yang di perintahkan Allah : Wa kuulu linnasi husna! : Bicaralah baik baik dengan sesama manusia.
Gunakan kalimat bertanya : kalau Allah sudah memerintahkan kita seperti itu , apakah kita boleh meggunakan bad words ?.
Buat kesimpulan, bahwa dalam keluarga kita (minimal) kita harus bicara baik baik dan berusaha diluar keluarga kita kita tetap memelihara diri untuk bicara dengan baik baik. Menggunakan kata kata seperti yang diperintahkan Allah :Qaulan Kariman : Bicara dengan kata yang baik,mulia, Kaulan Maisuran : Berkata yang mudah dimengerti ,Qaulan layyinan : berkata dengan lemah lembut, dll sambil merujuk ke al Quran: surah dan ayatnya. Biasakan jadikan al Quran sebagai rujukan dan bila perlu ikut mencari dari indeks dan membaca ayatnya dan artinya  langsung.
Bila anda berbeda agama, gunakan cara yang sama dengan kitab suci anda.

2. Role Play : bagaimana kalau temanmu menggunakan bad words ?
Tunggu jawaban. Karena anak harus tahu bagaimana bersikap dalam situasi yang tidak menyenangkan dan dia harus meggunakan ketrampilan dan pengetahuan yang ada dalam dirinya, bukan yang kita ingatkan dalam nasihat. 
Minta anak untuk memikirkan beberapa alternative untuk menjawab dan menyikapi temannya. Misalnya dengan mengatakan:”Maaf ya, aku gak mau ikut ikutan kmu berkata jorok”. “Kalau kamu mau kamu aja, aku nggak ikut ikutan!” dan lainlain.. Biarkan alternatif itu keluar dari anak dan hargai,  bahkan kalau perlu puji : Keren, Hebat , Tuh kan anak ayah bisa !  .

Catatan : Role play sangat penting, karena dua hal :
a. Anak berfikir konkrit, jadi harus dengan contoh
b. Anak perlu memiliki modal ang sudah dibangun, diproduksi didalam dirinya, tinggal digunakan.
Apalagi semua telah di setujui dan diakui kedua orang tuanya .

3. Kini gunakanlah alat peraga, sambil menjelaskan bagaimana terjadinya “wiring”dalam otak anak karena kebiasaan. Setiap kali apa yang kita dengar dan kita lakukan, otak membuat sambungan. Kalau dilakukan berulang ulang maka sambungannya  akan menjadi sangat tebal karena otomatis. Maukah sampai dewasa berkata kotor dan kasar seperti di you tube dan med-sos?
Bagaimana kalau jadi orang tua, pemimpin perusahaan atau pemimpin orang banyak ?

4. Berikutnya ambillah gelas dan isilah ½ dengan air. Lalu ambil cairan kopi dan masukkan setetes.  Tanya kepada anak  mengapa warna air menjadi berubah ? bagaimana kalau dimasukkan setetes lagi dan lagi dan lagi apa yang terjadi ? . Buat  kesamaan dengan otak yang bersih dimasukkan  air yang keruh /kppi dengan otak yang bersih kemasukan kata kata kotor.

5. Seumpama  air yang semakin keruh itu tadi apakah menurut anak  bisa diubah ?

6. Nah sekarang ambillah air yang kotor itu, letakkan diatas container yang kosong. Lalu terus menerus diisi dengan air bersih yan 1000 ml tadi sedikit demi sedikit, sehingga  air yang kotor tumpah ke bawah kedalam container dan air di dalam gelas menjadi semakin bersih.

7. Jelaskan bahwa otak yang kotor bisa dibersihkan bila mau, yaitu dengan terus menerus mengisinya dan menggantikan kata kata  yang kotor dengan kata yang baik : tolong, terima kasih , maaf, dan berbagai kata baik atau kata pujian lainnya.

8. Tanyakan pada anak : mau otak bersih apa kotor?
Mau berusaha atau tidak ?

Motivasi, dukung dan dampingi!.

Berfikirlah positif dan jadilah tauladan, karena contoh atau teladan  bekerja ribuan kali lebih baik dari pada kata kata saja.
 
Selamat berjuang,  yuk kita berusaha melestarikan budaya  bangsa kita seperti yang selama ini kita kenal:bangsa yang berbudi luhur dan beradab tinggi.
Jangan sampai terkikis oleh zaman dan teknologi.

Kuala Lumpur, dini hari 21 November2016.
#Mengasuh generasi digital

Elly Risman

Silahkan share bila dianggap pantas .

Minggu, 30 Oktober 2016

Pengasuhan, ada target ada finish

Copas dari grup Parenting with Elly Risman

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti ‘developmental milestone’ yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikutnya lagi.

Kini ibu saya merumuskan prakteknya menjadi teori, bahwa pengasuhan juga harus memiliki tujuan. Ada goals-goals yang harus di raih, di pecah secara kertil dengan tata laksana yang jelas. Tujuan pengasuhan pertama anak laki-laki dan perempuan adalah menjadi hamba allah yang shaleh/shalehah. Dari poin itu, dipecah lagi, apa saja yang harus diajarkan agar tujuan itu tercapai? Ilmu tauhid? Hadist? Tafsir? Bahasa arab? Hafalan quran? Apa lagi? Siapa yang akan mengajarkannya? Apakah ibu dan bapak bisa? Kalau bisa, bagi tugas. Kalau tidak bisa, agar bisa, belajar dimana orgtuanya? Kalau anaknya sudah kadung cukup usia, maka cari guru dari mana agar bisa di bawa ke rumah agar bisa pintar bersama-sama, ga cuma anaknya saja? Poin ini harus kuat, kokoh dan stabil, karena ia akan menjadi fondasi dari poin-poin selanjutnya

Tujuan pengasuhan kedua apa? Agar anak menjadi suami/istri yang baik. Bukan pekerja dan karyawan saja yang selama ini biasanya dipersiapkan oleh para orang tua. Hasilnya, gaji anaknya bagus, tapi keadaan rumah tangga carut marut karena tidak pernah di latih jadi suami dan istri. Apa saja yang harus di latih untuk menjadi suami dan istri yang baik? Itu di buat listnya lagi. komunikasi? Ketrampilan rumah tangga (seperti mencuci, memasak, dll)? Ilmu pengaturan keuangan? Pertukangan? Ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor? Memijit? Potong rambut? Menjahit? Buat daftar anda sendiri dan di tentukan lagi belajar pada siapa dan berapa lama masing-masing item harus di pelajari.

Setelah menjadi suami dan istri, logikanya akan menjadi ayah dan ibu. Menjadi ayah dan ibu saja mah gampang. Menjadi ayah ibu yang baik, benar dan menyenangkan itu yang setengah mati. Selama ini, saking gak taunya, kita berpikir memberi makan dan memberi tempat tinggal untuk anak-anak saja sudah cukup. Padahal kalau sesederhana itu, monyet pun bisa. Tugas ayah bukan hanya mencari nafkah. Quran (2:233) jelas-jelas menyebutkan makanan dan pakaian, jadi bukan hanya uang, karena uang tidak bisa di makan. Dan ibu pekerjaannya bukan hanya mengurusi rumah tangga saja. Anak tidak bisa hanya di kasih makan, sekolahin, trus udah. Ga bisa. Jadi di bikin, poin apa saja yang harus dilatih agar menjadi ayah ibu yang baik? Ketrampilan menjaga dan mengurus anak? Ketrampilan bercerita? Apalagi? Bikin lagi daftarnya, pecah lagi per item.

Poin ke 4 baru menjadi professional yang baik. Yang bisa bersaing di dunia kerja, mendapatkan penghasilan yang memadai, dst. Biasanya, orangtua kita zaman dulu cuma memastikan bahwa ini terkembang dengan baik, jadinya pada cuma jago jadi karyawan saja, giliran jadi ayah, di alihkan ke gadget. Pegang anak sebentar, sabarnya ilang. Ketrampilan untuk telatennya, tidak pernah terlatihkan. Padahal ini juga biasanya di delegasikan ke sekolah, jadi biasanya orangtua gak ngapa2in, secara poin nomer satu di lempar ke TPA, dan poin ini di lempar ke sekolah. Sisanya apa? Cuma kasih makan saja? Enak bener.

Tujuan pengasuhan yang lain masih banyak,..tapi saya Cuma cowel segitu dulu. Sgitu aja seabrek yang harus dilakukan.
Jadi kalau dalam prakteknya misalnya, untuk poin pertama, bagi tugas: ayah bertanggung jawab untuk membahas hadist dan tafsir. Kalau ayah tidak mumpuni, panggil guru ke rumah, jadi ayah belajar juga. Ibu misalnya kena bagian quran, hafalannya, dan ilmu tauhid. Tidak mampu? Mau mengirimkan anak ke guru yang lebih mafhum? Tak apa. tapi jangan lupa ibu juga ikut belajar, tidak Cuma melempar anak keluar dan berharap pulang terima jadi. Enak bener.

Untuk poin kedua, setelah terampil mengurus diri sendiri yang seharusnya sudah di kuasai di usia pra sekolah (mandi, makan, merapihkan, berpakaian dan ke kamar kecil sndiri, dll), anak SD sudah bisa dan boleh diberikan tanggung jawab yang melibatkan seluruh keluarga. Misalnya anak sulung saya bertugas mencuci pakaian sekeluarga dengan mesin cuci sebelum pergi sekolah. Tugas bisa berbentuk apa saja, mencuci piring, menyiram tanaman, menyapu rumah, ngepel lantai, apa saja yang di luar diri dan barangnya. Sepakati bersama. Apakah merapihkan mainan dan tempat tidurnya termasuk poin ini? Tidak. Karena itu ketrampilan diri, tidak berhubungan dengan orang lain. Tempat tidurnya ya tempat tidurnya. Kalau dia merapihkan semuaaaa tempat tidur dirumah, baru masuk ke poin ini. Saya memasukkan memasak ke dalam poin ini juga. Karena anak saya laki-laki dan menyediakan makanan adalah tugasnya kelak, maka mereka harus bisa masak juga. Lagipula bukankah koki-koki terkenal dunia umumnya laki-laki semua? Poin memasak di bagi 3 (kalau saya), dirotasi per tahun boleh, per 6 bulan boleh. Jadi misalnya kls 1: masak nasi, tempe dan pudding. Nanti kelas 2 beda lagi. Usahakan full meal, jadi 1 menu karbohidrat, 1 menu protein/lauk dan 1 menu pencuci mulut. Jadi misalnya nasi goreng, tomyam dan pisang goreng. Atau fetucini, telur dadar dan jus papaya. Mulai dari apa yang anak suka dulu saja. Kenapa di rotasi per 6 bulan? Karena harus bisa dengan lancar, tidak perlu ikut kejuaraan masterchef, tujuannya bisa bukan mahir. Tapi kalau Cuma latihan sekali.. mana mungkin?

Terus bagaimana melatih anak kecil menjadi ayah yang baik? Dia harus bisa mengajak main adiknya, memandikannya, memakaikan pakaian, menyuapi, dll, anak sulung saya Alhamdulillah di karuniai 2 adik dengan usia yang berbeda, jadi dia bisa dilatih untuk mengasuh 2 anak yang berbeda karena ketrampilan mengeramasi anak usia 4 tahun dan menyuapi anak usia 6 bulan membutuhkan trik yang khusus pula.

Hidup, harus punya tujuan, apalagi mengasuh, karena mengasuh itu ‘membentuk masa depan orang melalui tangan kita’, gak bisa ‘asal lewat’ saja. Ga bisa asal makan, asal sekolah, asal…gede. Ga bisa.

Bikin rumah saja, harus punya blue print. Jelas dimana pintu, jendela, jelas berapa luasnya, bentuknya gimana, dimana letak taman dan kamar kecil, sebelum rumah itu jadi, orang sudah bisa membayangkan dimana ruang tamu dan ada berapa kamar, serta garasi muat berapa mobil. Main bola juga jelas, jelas gawangnya, goalie nya siapa, bek tengah nya siapa, bek sayap, penyerang, gelandang, semua tau tugasnya masing-masing, bekerja sama untuk satu tujuan. Ketika terluka dan tidak bisa melakukan tugasnya, di gantikan dengan pemain lain. Bayangkan kalau main bola, tidak ada gol? Muteeeeeerrrr aja itu bola, dari satu pemain ke pemain lain. Ga masuk akal kan? Itu MAIN bola. Pengasuhan bukan main-main, dan tidak bisa diserahkan semua ke ibu saja. Apakah dengan begini, di jamin anak kelak akan menjadi hamba yang shalih, suami/istri yang baik, orgtua yang hebat, pekerja yang kaya? Tidak ada jaminan apa-apa di dunia ini. Seperti main bola, setelah usaha maksimal, kita tidak pernah tahu apakah akan menang atau kalah. Urusan hasil, urusan entar. Kita hanya bisa berusaha, maksimal. Bekerjasama saja belum tentu menang.. apalagi kalau di kerjakan sendirian. Punya gol saja belum tentu masuk, apalagi kalau tidak punya tujuan.

#sarrarisman
**jika dirasa manfaat, tidak perlu izin untuk membagikan tulisan ini.

Senin, 10 Oktober 2016

-

Ingin segera bertemu denganmu

Memelukmu eraaaaatt sekali

Dan berkata

Maafin aku sayang :(

Jumat, 07 Oktober 2016

Sekolah usia dini

Copas status Harry Santosa

Memasukan Anak ke PAUD Perlukah?

Ada sebuah buku yang berjudul "better late than early" , buku ini memberikan pandangan banyak pakar dari berbagai macam sudut pandang dan menyimpulkan serta menganjurkan untuk menunda memasukkan anak ke sekolah bahkan sampai usia 8 -10 tahun.

Para psikolog pun seperti bu Elly Risman atau ust Adriano Aad Rusfi atau praktisi seperti bunda Septi Peni Wulandani pun sama, menganjurkan untuk menunda selama mungkin anak usia dini untuk di "sekolah" kan.

Dalam pandangan pendidikan berbasis fitrah pun sama, tidak berlaku kaidah bahwa makin cepat makin baik, makin banyak makin hebat. Segala sesuatu sebaiknya sesuai tahapannya.

Perlu dipahami bahwa pendidikan usia dini adalah agar anak anak usia dini tumbuh paripurna sesuai tahap perkembangan usia dininya. Jadi bukan calistung untuk persiapan masuk SD. Juga ketika mengajarkan sesuatu maka prinsipnya adalah bukan apakah anak mampu, tetapi apakah yang anak butuhkan sesuai usianya. 

Sebagai catatan banyak PAUD hari ini yang berubah menjadi SAUD  (Sekolah Anak Usia Dini), dengan melatih anak berbagai keterampilan membaca, menulis dan berhitung sebagai persiapan masuk SD.

Usia Dini adalah usia paling kritis dan rentan namun sangat menentukan masa depan anak, maka pastikan AyahBunda urun hati, urun fikiran, urun tangan dstnya.

Beberapa aspek fitrah yang membutuhkan kedua orangtua turun tangan

1. Fitrah Keimanan. Usia 0-6 tahun adalah masa emas untuk mendidik fitrah keimanan, dengan keteladanan dan atmosfkr keshalihah untuk memunculkan imaji2 positif ttg Allah dstnya. Anak anak harus dibangkitkan gairah cintanya pada Allah dan kedua orangtualah sosok teladan yang paling berkesan untuk memberikan imaji imaji positif ini. Jika fitrah imannya tumbuh paripurna, maka bunda akan menjumpai ananda menyambut perintah sholat dengan suka cita ketika usia 7 tahun. Jangan lewatkan peran ayah bunda pada tahap 0-6 tahun

2. Fitrah Seksualitas. Anak usia 0-6 tahun membutuhkan kelekatan ayah dan ibunya sampai aqilbaligh, bahkan dilarang memisahkan anak dan ibunya sampai mereka aqilbaligh. Usia 3 tahun, ananda harus menyebut identitas gendernya dengan jelas. Anak yg bingung identitas gendernya ada kemungkinan salah satu sosok ayah atau ibu tidak hadir secara utuh. Perhatikan bahwa banyak PAUD gurunya hanya perempuan.

3. Fitrah individualitas. Anak usia 0-6 tahun sangat ego sentris, jika tidak memahami ini maka mereka akan dipaksa berbagi,  dipaksa untuk mengalah tanpa pertimbangan fitrah individualitasnya. Maka kelak akan menjadi peragu, tidak pede bahkan pelit dan pengecut.  Dalam lingkungan persekolahan usa dini yang seragam, maka umumnya individualitas tak dihargai.

Sejalan dengan ini maka sesungguhnya anak usia 0-6 tahun belum membutuhkan bersosialisasi, tetapi membutuhkan interaksi dengan alam. Sementara sosialisasi terbaiknya pada usia ini adalah dengan kedua orangtuanya.

4.  Fitrah Belajar. Pada usia ini abstraksi dan imaji anak sedang indah-ndahnya maka interaksi terbaiknya di alam dan permainan imajinatif. Kebanyakan PAUD mengenalkan permainan kognitif dan lebih banyak bermain dalam ruangan. Gairah belajar anak lebih wajib diumbuhkan daripada mengejar kemampun calistung. Ingat bahwa anak yang cepat bisa membaca belum tentu menyukai buku dan belajar, sementara anak yang cepat bisa berhitung belum tentu suka bernalar dan berabstraksi.
Tugas orangtua adalah membangkitkan gairah belajar anak bukan banyak mengajarkan. Ingat bahwa anak yang terlalu banyak diajarkan akan  minta diajarkan sepanjang hidupnya.

5. Fitrah Bakat. Pada usia ini, bakat anak muncul sebagai sifat unik, maka amati sebaiknya dan buatlah dokumentasi anak yang menggambarkan momen bahagia, momen kejutan atas sifat dan perilaku yang unik. Ini memerlukan observasi atau pengamatan yamg seksama, penuh empati dan telaten, dan sejujurnya hanya kedua orangtua yang ikhlash yang mampu melakukan.

6. Fitrah Estetika dan Bahasa. Pada usia ini anak harus dikuatkan bahasanya dengan bahasa ibu (mother tongue). Bahasa ibu adalah bahasa native atau bahasa penutur asli yang dituturkan ayah dan ibu di rumah dengan fasih dan santun. Hindari mengajarkan bahasa asing sebelum bahasa ibu sempurna. Ukurannya adalah mampu mengekpresikan perasaan, sikap dan gagasannya dengan jelas dan baik. Kisahkan anak dengan kisah kisah berkesan menggunakan bahasa ibu. Agak sulit menguatkan bahasa ibu jika PAUD menggunakan bahasa yang lain apalagi bilingual. Kasus kasus anak mengalami bingung bahasa atau mental block karena tak mampu mengekspresikan bahasa sudah banyak terjadi.

Jika ayah bunda karena alasan yang darurat harus memPAUD kan anak, maka pastikan

1. PAUD yang dipilih adalah yang mengoptimalkan peran orangtua dalam proses
2. AyahBunda tetap bertanggungjawab pada penumbuhan seluruh potensi fitrah, maka buatlah personalized curriculum (PC). Komunikasikan dan kerjasamakan PC dengan PAuD yang dipilih.
3. Manfaatkan waktu ketika bersama anak dengan sebaik baiknya

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

Rabu, 05 Oktober 2016

Main sama tetangga

Copas dari grup facebook Parenting with Elly Risman

Semua rumah punya peraturannya masing-masing. Semua ibu punya caranya masing-masing dalam mengasuh, melindungi dan memelihara anaknya. Salah satu cara saya adalah tidak mengizinkan anak-anak saya bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya. Jangan salah paham, mereka HARUS kenal tetangga mereka dengan baik, menyapa, mampir jika perlu, dan lebih dari sekedar tahu.

Kakek ujung gang (7 rumah dari rumah kami) bertato di seluruh lengannya. Tapi dia yang sangat bertanggung jawab dengan gang kami, dia yang rajin menutup dan membuka portal setiap subuh dan malam hari, men-cat dinding-dinding yang rusak, membersihkan rumput-rumput ilalang yang tumbuh secara liar. Sebelahnya adalah rumah Michael, mama Michael menikah dengan dosennya dan kini tinggal dengan mertuanya yang tidak begitu dia sukai. Michael sekarang lagi mogok sekolah karena disekolahkan terlalu dini oleh ibunya. Sebelahnya lagi rumah Hanny, anak gadis kecil yang setiap hari di tinggal mamanya bekerja dan di jaga oleh pembantu dan Papa Hanny. Di usianya yang baru 1.5th itu, Hanny sudah punya adik! Sebelah rumah Hanny adalah rumah Mischka, yang orangtuanya masih tinggal dengan kakeknya. Kakeknya yang setiap hari mengantarkan Mischka ke sekolah di salah satu TK islam dalam kompleks. Sebelah rumah Mischka adalah rumah bapak-bapak yang buka counter aksesories mobil di trade center setempat. Sebelah rumah bapak itu adalah rumah pasangan tua yang tidak punya anak. Untuk meramaikan rumah mereka, mereka mengizinkan asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya. Sebelah rumah nenek-kakek itu, rumah kami!

Seberang rumah Mischka, adalah rumah pasangan yang suaminya tidak bekerja, tapi istrinya bekerja sebagai perawat di panti werda tidak jauh dari kompleks kami. Sebelah rumah itu adalah rumah pasangan muslim yang punya 2 anak laki-laki. Yang pertama usianya 1-2th di atas raia dan adiknya 1-2th di atas kaizan. Mereka sekolah di sekolah muhammadiyah kecamatan lain. Sebelah rumah mereka, yaitu depan rumah kami, adalah gereja supeeeerrrrrrr gede. Gereja tersebut mempekerjakan 2 satpam untuk 2 shift yang berbeda. 1 adalah pak Abam yang asli Indonesia Timur dan Pak Hamid yang muslim. Pak Abam mengalami stroke setahun lalu dan berhasil menurunkan berat badannya berpuluh kilo. Istrinya membuka warung kopi di rumahnya di sebelah sananya gereja. Selang 5 rumah dari rumah Pak Abam adalah rumah pak Wanto, ketua RT yang baik hati. Dia punya anak SMA yang di SMA nya pas mau idul adha kemarin di tagih uang qurban 100rb/anak. Pak Hamid sudah bekerja di gereja lebih lama dari pak Abam. Kami bukan saja tahu bahwa dia gak suka daging kambing, tapi kami juga tahu bahwa ketika cek kesehatan setelah hari raya lalu, tensi darahnya rendah. Tidak perlu saya lanjutkan kan ya?

Saya mohon maaf semua jadi harus membaca tentang profil tetangga-tetangga saya dan kapan-kapan kalau berkesempatan bertemu anak-anak saya, silahkan cek sendiri pengetahuan mereka tentang orang-orang yang saya sebutkan diatas. Saya hanya ingin memaparkan bahwa orang yang tidak ‘nenangga’ dan yang anak-anaknya tidak bermain bersama anak tetangga, bukan berarti mereka tidak mengenal tetangga mereka. Untuk orang yang tidak ‘nenangga’, menurut saya ‘ilmu’ yang saya ketahui tentang tetangga-tetangga saya cukup memadai, cukup untuk berbasa-basi ketika kami bertemu, ngobrol sejenak dan bertegur sapa ketika kami harus mampir atau berpapasan ketika jalan pagi dan sore hari. Jika kelak anak-anak saya berumah sendiri, dan mereka mengenal tetangga-tetangga mereka seperti saya, menurut saya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kenapa saya nggak kasih mereka bermain dengan anak-anak sebaya nya di sekitar rumah? Karena kembali ke kalimat saya pertama saya diatas, bahwa masing-masing rumah punya cara pengasuhan yang berbeda dan saya tidak mau anak-anak terpengaruh dengan  cara pengasuhan orang lain yang belum tentu cocok dengan mereka. Anak-anak saya belum berada di usia di mana mereka sudah bisa memfilter yang mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh diikuti yang mana yang tidak, dan mereka juga belum bisa melindungi diri mereka dari pengaruh buruk secara verbal maupun fisik, dan saya tidak bisa, tidak mau dan tidak sanggup untuk terus menerus menemani, melindungi dan mencuci kembali otak mereka kalau memang terkontaminasi. Pun saya temani, memangnya keberadaan saya bisa mencegah anak orang lain berkata kasar dan jorok? Belum tentu kan? Kalau sudah kadung dikatakan oleh temannya dan sudah kadung di dengar, bagaimana saya membalikkan waktu agar mereka gak dengar? Kalau itu adalah kata yang bisa saya jelaskan, okelah, kalau nggak?

Dulu di grup-grup wa saya, ibu-ibu yang bertanya pertanyaan seputar hal ini saya berikan analogi tango. Iya, tango si wafer terkenal itu. tango yang terbuka bungkusnya, walaupun di taro di etalase toko mewah pun, tidak akan kita ambil, beli apalagi makan, karena bungkusnya yang terbuka memberikan peluang isinya untuk bisa terkontaminasi entah apa yang masuk. Bisa semut, cicak, kecoa atau minimal bakteri dan virus. Dan semua ibu-ibu di grup saya sepakat mereka akan memilih tango yang tertutup rapat yang ada di got karena walaupun jorok dan kotor, tapi kita semua tau karena bungkus ter-seal dengan baik dan anti air, kuman dan kotoran di LUAR bungkus tidak bisa masuk ke dalam. Jadi tinggal cuci bersih luarnya, isinya bisa di makan seperti biasa.

Anak-anak saya layaknya tango yang belum tertutup rapat. Jika dilempar keluar rumah akan terkontaminasi dengan ‘kuman dan kotoran’ yang kemungkinan ada dan bertabur di l;uar sana. Dan seperti wafernya, kalau sudah kena kuman, bagaimana membersihkannya? Saya memilih untuk memastikan tango saya terbungkus rapi dulu, karena kalau sudah lewat proses ‘quality control’, mau terlempar ke got pun, isinya tidak terkontaminasi.

Jadi harus di kekep di rumah? Dimana-mana, proses pembungkusan ya di pabrik yang tertutup laaah. Dengan pekerja yang pake sarung tangan, masker muka, tutup kepala, mesin yang canggih dan mahal, dan yang mau ‘wisata ke pabrik’ harus by appointment, mengikuti rules pabrik yang ada, ga bisa sembarang masuk saja. Ada dress code dan limited access di sana. Dan tidak setiap proses bisa di lihat oleh semua.

Lalu bagaimana dengan sekolah? Kalau sekolah kan harus. Plus, karena mereka sekolah diatas usia 5.5th, jadi justru jadi ladang quality control saya untuk melihat bagian bungkusan mana yang masih bolong dan perlu di tambal. Membersihkan kontaminasi dari sekolah aja setengah mati, masa mau di tambah dengan imbas dari tetangga. Lagipula, bertetangga tidak perlu dengan bermain bersama kok. Buktinya tidak main bareng pun kami cukup mengenal tetangga kami dengan baik.

Saya pribadi menikmati proses pembungkusan ini, Alhamdulillah selama ini, teman-teman yang sudah bertemu dengan tango-tango saya tidak ada yang men-cap mereka tidak bisa bersosialisasi, dan anak-anak saya juga tidak mengeluh dan minta main bersama teman sebaya di seputaran tetangga karena mereka tahu kenapanya. Di luar sana, air got nya sudah berupa setan berbentuk manusia. Kalau anda tidak setuju, tidak apa. Mungkin pabrik kita berbeda, mungkin wafer nya beda rasa, dengan level quality control yang juga tidak sama. Mungkin anak anda sudah bisa membedakan yang mana yang boleh di tiru dan yang mana yang hanya di lihat saja. Mungkin juga anda punya rinso pembersih otak anak yang saya tidak punya. Cuma, karena anak anda adalah anak saya juga, saya berharap semoga sebelum anda melempar anak anda keluar rumah, minimal pastikan bungkusan wafer nya tertutup rapat pula.

#sarrarisman
**jika di rasa manfaat, silahkan membagikan artikel ini
***jgn khawatir, semua nama di artikel ini sudah di rubah untuk perlindungan identitas mereka.