Minggu, 30 Oktober 2016

Pengasuhan, ada target ada finish

Copas dari grup Parenting with Elly Risman

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti ‘developmental milestone’ yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikutnya lagi.

Kini ibu saya merumuskan prakteknya menjadi teori, bahwa pengasuhan juga harus memiliki tujuan. Ada goals-goals yang harus di raih, di pecah secara kertil dengan tata laksana yang jelas. Tujuan pengasuhan pertama anak laki-laki dan perempuan adalah menjadi hamba allah yang shaleh/shalehah. Dari poin itu, dipecah lagi, apa saja yang harus diajarkan agar tujuan itu tercapai? Ilmu tauhid? Hadist? Tafsir? Bahasa arab? Hafalan quran? Apa lagi? Siapa yang akan mengajarkannya? Apakah ibu dan bapak bisa? Kalau bisa, bagi tugas. Kalau tidak bisa, agar bisa, belajar dimana orgtuanya? Kalau anaknya sudah kadung cukup usia, maka cari guru dari mana agar bisa di bawa ke rumah agar bisa pintar bersama-sama, ga cuma anaknya saja? Poin ini harus kuat, kokoh dan stabil, karena ia akan menjadi fondasi dari poin-poin selanjutnya

Tujuan pengasuhan kedua apa? Agar anak menjadi suami/istri yang baik. Bukan pekerja dan karyawan saja yang selama ini biasanya dipersiapkan oleh para orang tua. Hasilnya, gaji anaknya bagus, tapi keadaan rumah tangga carut marut karena tidak pernah di latih jadi suami dan istri. Apa saja yang harus di latih untuk menjadi suami dan istri yang baik? Itu di buat listnya lagi. komunikasi? Ketrampilan rumah tangga (seperti mencuci, memasak, dll)? Ilmu pengaturan keuangan? Pertukangan? Ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor? Memijit? Potong rambut? Menjahit? Buat daftar anda sendiri dan di tentukan lagi belajar pada siapa dan berapa lama masing-masing item harus di pelajari.

Setelah menjadi suami dan istri, logikanya akan menjadi ayah dan ibu. Menjadi ayah dan ibu saja mah gampang. Menjadi ayah ibu yang baik, benar dan menyenangkan itu yang setengah mati. Selama ini, saking gak taunya, kita berpikir memberi makan dan memberi tempat tinggal untuk anak-anak saja sudah cukup. Padahal kalau sesederhana itu, monyet pun bisa. Tugas ayah bukan hanya mencari nafkah. Quran (2:233) jelas-jelas menyebutkan makanan dan pakaian, jadi bukan hanya uang, karena uang tidak bisa di makan. Dan ibu pekerjaannya bukan hanya mengurusi rumah tangga saja. Anak tidak bisa hanya di kasih makan, sekolahin, trus udah. Ga bisa. Jadi di bikin, poin apa saja yang harus dilatih agar menjadi ayah ibu yang baik? Ketrampilan menjaga dan mengurus anak? Ketrampilan bercerita? Apalagi? Bikin lagi daftarnya, pecah lagi per item.

Poin ke 4 baru menjadi professional yang baik. Yang bisa bersaing di dunia kerja, mendapatkan penghasilan yang memadai, dst. Biasanya, orangtua kita zaman dulu cuma memastikan bahwa ini terkembang dengan baik, jadinya pada cuma jago jadi karyawan saja, giliran jadi ayah, di alihkan ke gadget. Pegang anak sebentar, sabarnya ilang. Ketrampilan untuk telatennya, tidak pernah terlatihkan. Padahal ini juga biasanya di delegasikan ke sekolah, jadi biasanya orangtua gak ngapa2in, secara poin nomer satu di lempar ke TPA, dan poin ini di lempar ke sekolah. Sisanya apa? Cuma kasih makan saja? Enak bener.

Tujuan pengasuhan yang lain masih banyak,..tapi saya Cuma cowel segitu dulu. Sgitu aja seabrek yang harus dilakukan.
Jadi kalau dalam prakteknya misalnya, untuk poin pertama, bagi tugas: ayah bertanggung jawab untuk membahas hadist dan tafsir. Kalau ayah tidak mumpuni, panggil guru ke rumah, jadi ayah belajar juga. Ibu misalnya kena bagian quran, hafalannya, dan ilmu tauhid. Tidak mampu? Mau mengirimkan anak ke guru yang lebih mafhum? Tak apa. tapi jangan lupa ibu juga ikut belajar, tidak Cuma melempar anak keluar dan berharap pulang terima jadi. Enak bener.

Untuk poin kedua, setelah terampil mengurus diri sendiri yang seharusnya sudah di kuasai di usia pra sekolah (mandi, makan, merapihkan, berpakaian dan ke kamar kecil sndiri, dll), anak SD sudah bisa dan boleh diberikan tanggung jawab yang melibatkan seluruh keluarga. Misalnya anak sulung saya bertugas mencuci pakaian sekeluarga dengan mesin cuci sebelum pergi sekolah. Tugas bisa berbentuk apa saja, mencuci piring, menyiram tanaman, menyapu rumah, ngepel lantai, apa saja yang di luar diri dan barangnya. Sepakati bersama. Apakah merapihkan mainan dan tempat tidurnya termasuk poin ini? Tidak. Karena itu ketrampilan diri, tidak berhubungan dengan orang lain. Tempat tidurnya ya tempat tidurnya. Kalau dia merapihkan semuaaaa tempat tidur dirumah, baru masuk ke poin ini. Saya memasukkan memasak ke dalam poin ini juga. Karena anak saya laki-laki dan menyediakan makanan adalah tugasnya kelak, maka mereka harus bisa masak juga. Lagipula bukankah koki-koki terkenal dunia umumnya laki-laki semua? Poin memasak di bagi 3 (kalau saya), dirotasi per tahun boleh, per 6 bulan boleh. Jadi misalnya kls 1: masak nasi, tempe dan pudding. Nanti kelas 2 beda lagi. Usahakan full meal, jadi 1 menu karbohidrat, 1 menu protein/lauk dan 1 menu pencuci mulut. Jadi misalnya nasi goreng, tomyam dan pisang goreng. Atau fetucini, telur dadar dan jus papaya. Mulai dari apa yang anak suka dulu saja. Kenapa di rotasi per 6 bulan? Karena harus bisa dengan lancar, tidak perlu ikut kejuaraan masterchef, tujuannya bisa bukan mahir. Tapi kalau Cuma latihan sekali.. mana mungkin?

Terus bagaimana melatih anak kecil menjadi ayah yang baik? Dia harus bisa mengajak main adiknya, memandikannya, memakaikan pakaian, menyuapi, dll, anak sulung saya Alhamdulillah di karuniai 2 adik dengan usia yang berbeda, jadi dia bisa dilatih untuk mengasuh 2 anak yang berbeda karena ketrampilan mengeramasi anak usia 4 tahun dan menyuapi anak usia 6 bulan membutuhkan trik yang khusus pula.

Hidup, harus punya tujuan, apalagi mengasuh, karena mengasuh itu ‘membentuk masa depan orang melalui tangan kita’, gak bisa ‘asal lewat’ saja. Ga bisa asal makan, asal sekolah, asal…gede. Ga bisa.

Bikin rumah saja, harus punya blue print. Jelas dimana pintu, jendela, jelas berapa luasnya, bentuknya gimana, dimana letak taman dan kamar kecil, sebelum rumah itu jadi, orang sudah bisa membayangkan dimana ruang tamu dan ada berapa kamar, serta garasi muat berapa mobil. Main bola juga jelas, jelas gawangnya, goalie nya siapa, bek tengah nya siapa, bek sayap, penyerang, gelandang, semua tau tugasnya masing-masing, bekerja sama untuk satu tujuan. Ketika terluka dan tidak bisa melakukan tugasnya, di gantikan dengan pemain lain. Bayangkan kalau main bola, tidak ada gol? Muteeeeeerrrr aja itu bola, dari satu pemain ke pemain lain. Ga masuk akal kan? Itu MAIN bola. Pengasuhan bukan main-main, dan tidak bisa diserahkan semua ke ibu saja. Apakah dengan begini, di jamin anak kelak akan menjadi hamba yang shalih, suami/istri yang baik, orgtua yang hebat, pekerja yang kaya? Tidak ada jaminan apa-apa di dunia ini. Seperti main bola, setelah usaha maksimal, kita tidak pernah tahu apakah akan menang atau kalah. Urusan hasil, urusan entar. Kita hanya bisa berusaha, maksimal. Bekerjasama saja belum tentu menang.. apalagi kalau di kerjakan sendirian. Punya gol saja belum tentu masuk, apalagi kalau tidak punya tujuan.

#sarrarisman
**jika dirasa manfaat, tidak perlu izin untuk membagikan tulisan ini.

Senin, 10 Oktober 2016

-

Ingin segera bertemu denganmu

Memelukmu eraaaaatt sekali

Dan berkata

Maafin aku sayang :(

Jumat, 07 Oktober 2016

Sekolah usia dini

Copas status Harry Santosa

Memasukan Anak ke PAUD Perlukah?

Ada sebuah buku yang berjudul "better late than early" , buku ini memberikan pandangan banyak pakar dari berbagai macam sudut pandang dan menyimpulkan serta menganjurkan untuk menunda memasukkan anak ke sekolah bahkan sampai usia 8 -10 tahun.

Para psikolog pun seperti bu Elly Risman atau ust Adriano Aad Rusfi atau praktisi seperti bunda Septi Peni Wulandani pun sama, menganjurkan untuk menunda selama mungkin anak usia dini untuk di "sekolah" kan.

Dalam pandangan pendidikan berbasis fitrah pun sama, tidak berlaku kaidah bahwa makin cepat makin baik, makin banyak makin hebat. Segala sesuatu sebaiknya sesuai tahapannya.

Perlu dipahami bahwa pendidikan usia dini adalah agar anak anak usia dini tumbuh paripurna sesuai tahap perkembangan usia dininya. Jadi bukan calistung untuk persiapan masuk SD. Juga ketika mengajarkan sesuatu maka prinsipnya adalah bukan apakah anak mampu, tetapi apakah yang anak butuhkan sesuai usianya. 

Sebagai catatan banyak PAUD hari ini yang berubah menjadi SAUD  (Sekolah Anak Usia Dini), dengan melatih anak berbagai keterampilan membaca, menulis dan berhitung sebagai persiapan masuk SD.

Usia Dini adalah usia paling kritis dan rentan namun sangat menentukan masa depan anak, maka pastikan AyahBunda urun hati, urun fikiran, urun tangan dstnya.

Beberapa aspek fitrah yang membutuhkan kedua orangtua turun tangan

1. Fitrah Keimanan. Usia 0-6 tahun adalah masa emas untuk mendidik fitrah keimanan, dengan keteladanan dan atmosfkr keshalihah untuk memunculkan imaji2 positif ttg Allah dstnya. Anak anak harus dibangkitkan gairah cintanya pada Allah dan kedua orangtualah sosok teladan yang paling berkesan untuk memberikan imaji imaji positif ini. Jika fitrah imannya tumbuh paripurna, maka bunda akan menjumpai ananda menyambut perintah sholat dengan suka cita ketika usia 7 tahun. Jangan lewatkan peran ayah bunda pada tahap 0-6 tahun

2. Fitrah Seksualitas. Anak usia 0-6 tahun membutuhkan kelekatan ayah dan ibunya sampai aqilbaligh, bahkan dilarang memisahkan anak dan ibunya sampai mereka aqilbaligh. Usia 3 tahun, ananda harus menyebut identitas gendernya dengan jelas. Anak yg bingung identitas gendernya ada kemungkinan salah satu sosok ayah atau ibu tidak hadir secara utuh. Perhatikan bahwa banyak PAUD gurunya hanya perempuan.

3. Fitrah individualitas. Anak usia 0-6 tahun sangat ego sentris, jika tidak memahami ini maka mereka akan dipaksa berbagi,  dipaksa untuk mengalah tanpa pertimbangan fitrah individualitasnya. Maka kelak akan menjadi peragu, tidak pede bahkan pelit dan pengecut.  Dalam lingkungan persekolahan usa dini yang seragam, maka umumnya individualitas tak dihargai.

Sejalan dengan ini maka sesungguhnya anak usia 0-6 tahun belum membutuhkan bersosialisasi, tetapi membutuhkan interaksi dengan alam. Sementara sosialisasi terbaiknya pada usia ini adalah dengan kedua orangtuanya.

4.  Fitrah Belajar. Pada usia ini abstraksi dan imaji anak sedang indah-ndahnya maka interaksi terbaiknya di alam dan permainan imajinatif. Kebanyakan PAUD mengenalkan permainan kognitif dan lebih banyak bermain dalam ruangan. Gairah belajar anak lebih wajib diumbuhkan daripada mengejar kemampun calistung. Ingat bahwa anak yang cepat bisa membaca belum tentu menyukai buku dan belajar, sementara anak yang cepat bisa berhitung belum tentu suka bernalar dan berabstraksi.
Tugas orangtua adalah membangkitkan gairah belajar anak bukan banyak mengajarkan. Ingat bahwa anak yang terlalu banyak diajarkan akan  minta diajarkan sepanjang hidupnya.

5. Fitrah Bakat. Pada usia ini, bakat anak muncul sebagai sifat unik, maka amati sebaiknya dan buatlah dokumentasi anak yang menggambarkan momen bahagia, momen kejutan atas sifat dan perilaku yang unik. Ini memerlukan observasi atau pengamatan yamg seksama, penuh empati dan telaten, dan sejujurnya hanya kedua orangtua yang ikhlash yang mampu melakukan.

6. Fitrah Estetika dan Bahasa. Pada usia ini anak harus dikuatkan bahasanya dengan bahasa ibu (mother tongue). Bahasa ibu adalah bahasa native atau bahasa penutur asli yang dituturkan ayah dan ibu di rumah dengan fasih dan santun. Hindari mengajarkan bahasa asing sebelum bahasa ibu sempurna. Ukurannya adalah mampu mengekpresikan perasaan, sikap dan gagasannya dengan jelas dan baik. Kisahkan anak dengan kisah kisah berkesan menggunakan bahasa ibu. Agak sulit menguatkan bahasa ibu jika PAUD menggunakan bahasa yang lain apalagi bilingual. Kasus kasus anak mengalami bingung bahasa atau mental block karena tak mampu mengekspresikan bahasa sudah banyak terjadi.

Jika ayah bunda karena alasan yang darurat harus memPAUD kan anak, maka pastikan

1. PAUD yang dipilih adalah yang mengoptimalkan peran orangtua dalam proses
2. AyahBunda tetap bertanggungjawab pada penumbuhan seluruh potensi fitrah, maka buatlah personalized curriculum (PC). Komunikasikan dan kerjasamakan PC dengan PAuD yang dipilih.
3. Manfaatkan waktu ketika bersama anak dengan sebaik baiknya

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

Rabu, 05 Oktober 2016

Main sama tetangga

Copas dari grup facebook Parenting with Elly Risman

Semua rumah punya peraturannya masing-masing. Semua ibu punya caranya masing-masing dalam mengasuh, melindungi dan memelihara anaknya. Salah satu cara saya adalah tidak mengizinkan anak-anak saya bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya. Jangan salah paham, mereka HARUS kenal tetangga mereka dengan baik, menyapa, mampir jika perlu, dan lebih dari sekedar tahu.

Kakek ujung gang (7 rumah dari rumah kami) bertato di seluruh lengannya. Tapi dia yang sangat bertanggung jawab dengan gang kami, dia yang rajin menutup dan membuka portal setiap subuh dan malam hari, men-cat dinding-dinding yang rusak, membersihkan rumput-rumput ilalang yang tumbuh secara liar. Sebelahnya adalah rumah Michael, mama Michael menikah dengan dosennya dan kini tinggal dengan mertuanya yang tidak begitu dia sukai. Michael sekarang lagi mogok sekolah karena disekolahkan terlalu dini oleh ibunya. Sebelahnya lagi rumah Hanny, anak gadis kecil yang setiap hari di tinggal mamanya bekerja dan di jaga oleh pembantu dan Papa Hanny. Di usianya yang baru 1.5th itu, Hanny sudah punya adik! Sebelah rumah Hanny adalah rumah Mischka, yang orangtuanya masih tinggal dengan kakeknya. Kakeknya yang setiap hari mengantarkan Mischka ke sekolah di salah satu TK islam dalam kompleks. Sebelah rumah Mischka adalah rumah bapak-bapak yang buka counter aksesories mobil di trade center setempat. Sebelah rumah bapak itu adalah rumah pasangan tua yang tidak punya anak. Untuk meramaikan rumah mereka, mereka mengizinkan asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya. Sebelah rumah nenek-kakek itu, rumah kami!

Seberang rumah Mischka, adalah rumah pasangan yang suaminya tidak bekerja, tapi istrinya bekerja sebagai perawat di panti werda tidak jauh dari kompleks kami. Sebelah rumah itu adalah rumah pasangan muslim yang punya 2 anak laki-laki. Yang pertama usianya 1-2th di atas raia dan adiknya 1-2th di atas kaizan. Mereka sekolah di sekolah muhammadiyah kecamatan lain. Sebelah rumah mereka, yaitu depan rumah kami, adalah gereja supeeeerrrrrrr gede. Gereja tersebut mempekerjakan 2 satpam untuk 2 shift yang berbeda. 1 adalah pak Abam yang asli Indonesia Timur dan Pak Hamid yang muslim. Pak Abam mengalami stroke setahun lalu dan berhasil menurunkan berat badannya berpuluh kilo. Istrinya membuka warung kopi di rumahnya di sebelah sananya gereja. Selang 5 rumah dari rumah Pak Abam adalah rumah pak Wanto, ketua RT yang baik hati. Dia punya anak SMA yang di SMA nya pas mau idul adha kemarin di tagih uang qurban 100rb/anak. Pak Hamid sudah bekerja di gereja lebih lama dari pak Abam. Kami bukan saja tahu bahwa dia gak suka daging kambing, tapi kami juga tahu bahwa ketika cek kesehatan setelah hari raya lalu, tensi darahnya rendah. Tidak perlu saya lanjutkan kan ya?

Saya mohon maaf semua jadi harus membaca tentang profil tetangga-tetangga saya dan kapan-kapan kalau berkesempatan bertemu anak-anak saya, silahkan cek sendiri pengetahuan mereka tentang orang-orang yang saya sebutkan diatas. Saya hanya ingin memaparkan bahwa orang yang tidak ‘nenangga’ dan yang anak-anaknya tidak bermain bersama anak tetangga, bukan berarti mereka tidak mengenal tetangga mereka. Untuk orang yang tidak ‘nenangga’, menurut saya ‘ilmu’ yang saya ketahui tentang tetangga-tetangga saya cukup memadai, cukup untuk berbasa-basi ketika kami bertemu, ngobrol sejenak dan bertegur sapa ketika kami harus mampir atau berpapasan ketika jalan pagi dan sore hari. Jika kelak anak-anak saya berumah sendiri, dan mereka mengenal tetangga-tetangga mereka seperti saya, menurut saya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kenapa saya nggak kasih mereka bermain dengan anak-anak sebaya nya di sekitar rumah? Karena kembali ke kalimat saya pertama saya diatas, bahwa masing-masing rumah punya cara pengasuhan yang berbeda dan saya tidak mau anak-anak terpengaruh dengan  cara pengasuhan orang lain yang belum tentu cocok dengan mereka. Anak-anak saya belum berada di usia di mana mereka sudah bisa memfilter yang mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh diikuti yang mana yang tidak, dan mereka juga belum bisa melindungi diri mereka dari pengaruh buruk secara verbal maupun fisik, dan saya tidak bisa, tidak mau dan tidak sanggup untuk terus menerus menemani, melindungi dan mencuci kembali otak mereka kalau memang terkontaminasi. Pun saya temani, memangnya keberadaan saya bisa mencegah anak orang lain berkata kasar dan jorok? Belum tentu kan? Kalau sudah kadung dikatakan oleh temannya dan sudah kadung di dengar, bagaimana saya membalikkan waktu agar mereka gak dengar? Kalau itu adalah kata yang bisa saya jelaskan, okelah, kalau nggak?

Dulu di grup-grup wa saya, ibu-ibu yang bertanya pertanyaan seputar hal ini saya berikan analogi tango. Iya, tango si wafer terkenal itu. tango yang terbuka bungkusnya, walaupun di taro di etalase toko mewah pun, tidak akan kita ambil, beli apalagi makan, karena bungkusnya yang terbuka memberikan peluang isinya untuk bisa terkontaminasi entah apa yang masuk. Bisa semut, cicak, kecoa atau minimal bakteri dan virus. Dan semua ibu-ibu di grup saya sepakat mereka akan memilih tango yang tertutup rapat yang ada di got karena walaupun jorok dan kotor, tapi kita semua tau karena bungkus ter-seal dengan baik dan anti air, kuman dan kotoran di LUAR bungkus tidak bisa masuk ke dalam. Jadi tinggal cuci bersih luarnya, isinya bisa di makan seperti biasa.

Anak-anak saya layaknya tango yang belum tertutup rapat. Jika dilempar keluar rumah akan terkontaminasi dengan ‘kuman dan kotoran’ yang kemungkinan ada dan bertabur di l;uar sana. Dan seperti wafernya, kalau sudah kena kuman, bagaimana membersihkannya? Saya memilih untuk memastikan tango saya terbungkus rapi dulu, karena kalau sudah lewat proses ‘quality control’, mau terlempar ke got pun, isinya tidak terkontaminasi.

Jadi harus di kekep di rumah? Dimana-mana, proses pembungkusan ya di pabrik yang tertutup laaah. Dengan pekerja yang pake sarung tangan, masker muka, tutup kepala, mesin yang canggih dan mahal, dan yang mau ‘wisata ke pabrik’ harus by appointment, mengikuti rules pabrik yang ada, ga bisa sembarang masuk saja. Ada dress code dan limited access di sana. Dan tidak setiap proses bisa di lihat oleh semua.

Lalu bagaimana dengan sekolah? Kalau sekolah kan harus. Plus, karena mereka sekolah diatas usia 5.5th, jadi justru jadi ladang quality control saya untuk melihat bagian bungkusan mana yang masih bolong dan perlu di tambal. Membersihkan kontaminasi dari sekolah aja setengah mati, masa mau di tambah dengan imbas dari tetangga. Lagipula, bertetangga tidak perlu dengan bermain bersama kok. Buktinya tidak main bareng pun kami cukup mengenal tetangga kami dengan baik.

Saya pribadi menikmati proses pembungkusan ini, Alhamdulillah selama ini, teman-teman yang sudah bertemu dengan tango-tango saya tidak ada yang men-cap mereka tidak bisa bersosialisasi, dan anak-anak saya juga tidak mengeluh dan minta main bersama teman sebaya di seputaran tetangga karena mereka tahu kenapanya. Di luar sana, air got nya sudah berupa setan berbentuk manusia. Kalau anda tidak setuju, tidak apa. Mungkin pabrik kita berbeda, mungkin wafer nya beda rasa, dengan level quality control yang juga tidak sama. Mungkin anak anda sudah bisa membedakan yang mana yang boleh di tiru dan yang mana yang hanya di lihat saja. Mungkin juga anda punya rinso pembersih otak anak yang saya tidak punya. Cuma, karena anak anda adalah anak saya juga, saya berharap semoga sebelum anda melempar anak anda keluar rumah, minimal pastikan bungkusan wafer nya tertutup rapat pula.

#sarrarisman
**jika di rasa manfaat, silahkan membagikan artikel ini
***jgn khawatir, semua nama di artikel ini sudah di rubah untuk perlindungan identitas mereka.