Rabu, 05 Oktober 2016

Main sama tetangga

Copas dari grup facebook Parenting with Elly Risman

Semua rumah punya peraturannya masing-masing. Semua ibu punya caranya masing-masing dalam mengasuh, melindungi dan memelihara anaknya. Salah satu cara saya adalah tidak mengizinkan anak-anak saya bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya. Jangan salah paham, mereka HARUS kenal tetangga mereka dengan baik, menyapa, mampir jika perlu, dan lebih dari sekedar tahu.

Kakek ujung gang (7 rumah dari rumah kami) bertato di seluruh lengannya. Tapi dia yang sangat bertanggung jawab dengan gang kami, dia yang rajin menutup dan membuka portal setiap subuh dan malam hari, men-cat dinding-dinding yang rusak, membersihkan rumput-rumput ilalang yang tumbuh secara liar. Sebelahnya adalah rumah Michael, mama Michael menikah dengan dosennya dan kini tinggal dengan mertuanya yang tidak begitu dia sukai. Michael sekarang lagi mogok sekolah karena disekolahkan terlalu dini oleh ibunya. Sebelahnya lagi rumah Hanny, anak gadis kecil yang setiap hari di tinggal mamanya bekerja dan di jaga oleh pembantu dan Papa Hanny. Di usianya yang baru 1.5th itu, Hanny sudah punya adik! Sebelah rumah Hanny adalah rumah Mischka, yang orangtuanya masih tinggal dengan kakeknya. Kakeknya yang setiap hari mengantarkan Mischka ke sekolah di salah satu TK islam dalam kompleks. Sebelah rumah Mischka adalah rumah bapak-bapak yang buka counter aksesories mobil di trade center setempat. Sebelah rumah bapak itu adalah rumah pasangan tua yang tidak punya anak. Untuk meramaikan rumah mereka, mereka mengizinkan asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya. Sebelah rumah nenek-kakek itu, rumah kami!

Seberang rumah Mischka, adalah rumah pasangan yang suaminya tidak bekerja, tapi istrinya bekerja sebagai perawat di panti werda tidak jauh dari kompleks kami. Sebelah rumah itu adalah rumah pasangan muslim yang punya 2 anak laki-laki. Yang pertama usianya 1-2th di atas raia dan adiknya 1-2th di atas kaizan. Mereka sekolah di sekolah muhammadiyah kecamatan lain. Sebelah rumah mereka, yaitu depan rumah kami, adalah gereja supeeeerrrrrrr gede. Gereja tersebut mempekerjakan 2 satpam untuk 2 shift yang berbeda. 1 adalah pak Abam yang asli Indonesia Timur dan Pak Hamid yang muslim. Pak Abam mengalami stroke setahun lalu dan berhasil menurunkan berat badannya berpuluh kilo. Istrinya membuka warung kopi di rumahnya di sebelah sananya gereja. Selang 5 rumah dari rumah Pak Abam adalah rumah pak Wanto, ketua RT yang baik hati. Dia punya anak SMA yang di SMA nya pas mau idul adha kemarin di tagih uang qurban 100rb/anak. Pak Hamid sudah bekerja di gereja lebih lama dari pak Abam. Kami bukan saja tahu bahwa dia gak suka daging kambing, tapi kami juga tahu bahwa ketika cek kesehatan setelah hari raya lalu, tensi darahnya rendah. Tidak perlu saya lanjutkan kan ya?

Saya mohon maaf semua jadi harus membaca tentang profil tetangga-tetangga saya dan kapan-kapan kalau berkesempatan bertemu anak-anak saya, silahkan cek sendiri pengetahuan mereka tentang orang-orang yang saya sebutkan diatas. Saya hanya ingin memaparkan bahwa orang yang tidak ‘nenangga’ dan yang anak-anaknya tidak bermain bersama anak tetangga, bukan berarti mereka tidak mengenal tetangga mereka. Untuk orang yang tidak ‘nenangga’, menurut saya ‘ilmu’ yang saya ketahui tentang tetangga-tetangga saya cukup memadai, cukup untuk berbasa-basi ketika kami bertemu, ngobrol sejenak dan bertegur sapa ketika kami harus mampir atau berpapasan ketika jalan pagi dan sore hari. Jika kelak anak-anak saya berumah sendiri, dan mereka mengenal tetangga-tetangga mereka seperti saya, menurut saya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kenapa saya nggak kasih mereka bermain dengan anak-anak sebaya nya di sekitar rumah? Karena kembali ke kalimat saya pertama saya diatas, bahwa masing-masing rumah punya cara pengasuhan yang berbeda dan saya tidak mau anak-anak terpengaruh dengan  cara pengasuhan orang lain yang belum tentu cocok dengan mereka. Anak-anak saya belum berada di usia di mana mereka sudah bisa memfilter yang mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh diikuti yang mana yang tidak, dan mereka juga belum bisa melindungi diri mereka dari pengaruh buruk secara verbal maupun fisik, dan saya tidak bisa, tidak mau dan tidak sanggup untuk terus menerus menemani, melindungi dan mencuci kembali otak mereka kalau memang terkontaminasi. Pun saya temani, memangnya keberadaan saya bisa mencegah anak orang lain berkata kasar dan jorok? Belum tentu kan? Kalau sudah kadung dikatakan oleh temannya dan sudah kadung di dengar, bagaimana saya membalikkan waktu agar mereka gak dengar? Kalau itu adalah kata yang bisa saya jelaskan, okelah, kalau nggak?

Dulu di grup-grup wa saya, ibu-ibu yang bertanya pertanyaan seputar hal ini saya berikan analogi tango. Iya, tango si wafer terkenal itu. tango yang terbuka bungkusnya, walaupun di taro di etalase toko mewah pun, tidak akan kita ambil, beli apalagi makan, karena bungkusnya yang terbuka memberikan peluang isinya untuk bisa terkontaminasi entah apa yang masuk. Bisa semut, cicak, kecoa atau minimal bakteri dan virus. Dan semua ibu-ibu di grup saya sepakat mereka akan memilih tango yang tertutup rapat yang ada di got karena walaupun jorok dan kotor, tapi kita semua tau karena bungkus ter-seal dengan baik dan anti air, kuman dan kotoran di LUAR bungkus tidak bisa masuk ke dalam. Jadi tinggal cuci bersih luarnya, isinya bisa di makan seperti biasa.

Anak-anak saya layaknya tango yang belum tertutup rapat. Jika dilempar keluar rumah akan terkontaminasi dengan ‘kuman dan kotoran’ yang kemungkinan ada dan bertabur di l;uar sana. Dan seperti wafernya, kalau sudah kena kuman, bagaimana membersihkannya? Saya memilih untuk memastikan tango saya terbungkus rapi dulu, karena kalau sudah lewat proses ‘quality control’, mau terlempar ke got pun, isinya tidak terkontaminasi.

Jadi harus di kekep di rumah? Dimana-mana, proses pembungkusan ya di pabrik yang tertutup laaah. Dengan pekerja yang pake sarung tangan, masker muka, tutup kepala, mesin yang canggih dan mahal, dan yang mau ‘wisata ke pabrik’ harus by appointment, mengikuti rules pabrik yang ada, ga bisa sembarang masuk saja. Ada dress code dan limited access di sana. Dan tidak setiap proses bisa di lihat oleh semua.

Lalu bagaimana dengan sekolah? Kalau sekolah kan harus. Plus, karena mereka sekolah diatas usia 5.5th, jadi justru jadi ladang quality control saya untuk melihat bagian bungkusan mana yang masih bolong dan perlu di tambal. Membersihkan kontaminasi dari sekolah aja setengah mati, masa mau di tambah dengan imbas dari tetangga. Lagipula, bertetangga tidak perlu dengan bermain bersama kok. Buktinya tidak main bareng pun kami cukup mengenal tetangga kami dengan baik.

Saya pribadi menikmati proses pembungkusan ini, Alhamdulillah selama ini, teman-teman yang sudah bertemu dengan tango-tango saya tidak ada yang men-cap mereka tidak bisa bersosialisasi, dan anak-anak saya juga tidak mengeluh dan minta main bersama teman sebaya di seputaran tetangga karena mereka tahu kenapanya. Di luar sana, air got nya sudah berupa setan berbentuk manusia. Kalau anda tidak setuju, tidak apa. Mungkin pabrik kita berbeda, mungkin wafer nya beda rasa, dengan level quality control yang juga tidak sama. Mungkin anak anda sudah bisa membedakan yang mana yang boleh di tiru dan yang mana yang hanya di lihat saja. Mungkin juga anda punya rinso pembersih otak anak yang saya tidak punya. Cuma, karena anak anda adalah anak saya juga, saya berharap semoga sebelum anda melempar anak anda keluar rumah, minimal pastikan bungkusan wafer nya tertutup rapat pula.

#sarrarisman
**jika di rasa manfaat, silahkan membagikan artikel ini
***jgn khawatir, semua nama di artikel ini sudah di rubah untuk perlindungan identitas mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar